 
  GenPI.co - Siang itu matahari menyengat di langit Dukuh Kedungpring, Desa Juwok, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Di sela-sela terik, suara mesin pompa terdengar pelan dari arah RT 09. Dari menara air setinggi belasan meter, pipa-pipa menjulur ke arah rumah-rumah warga. Air jernih mengalir deras, menandai babak baru dalam kehidupan desa yang dulu akrab dengan kekeringan.
“Sekarang, tiap pagi bisa cuci, bisa masak tanpa takut air habis,” kata warga setempat Siti (53), yang ditemui beberapa waktu lalu.
Dulu air seperti barang mewah di Juwok. Setiap musim kemarau, warga berjibaku mencari air untuk bertahan. Sumur-sumur dangkal yang mereka gali hanya mampu bertahan beberapa minggu sebelum kering.
BACA JUGA: Kilang Minyak Pertamina Dumai Terbakar, Warga Diminta Tenang
“Satu sumur bisa dipakai empat keluarga. Kalau sudah benar-benar kering, kami beli air tangki dari luar desa. Mahal, kadang habis Rp100.000 seminggu, tetapi mau bagaimana lagi?” ungkap Siti.
Air dari sumur tua kadang asin, kadang berbau karat. Untuk memasak dan minum, warga terpaksa membeli air isi ulang dengan harga yang tidak murah.
BACA JUGA: Bantah Cari Untung dari Impor BBM SPBU Swasta, Pertamina Sebut Ketahanan Energi
“Air sumur nggak bisa diminum. Buat mandi saja kadang gatal,” imbuh dia.
Sebelum ada sumur bor, warga mengandalkan program Pamsimas (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang debitnya semakin menurun setiap tahun. Beberapa wilayah memiliki sumur dangkal, tetapi airnya payau dan berbau karat.
BACA JUGA: Pertamina Bantah Jual BBM ke SPBU Swasta: Belum Ada Permintaan
“Ada yang asin, ada yang bau besi. Cari air bersih di sini tidak gampang,” kata Suyono.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News


















































