GenPI.co - Di ruang tunggu Doha-Damaskus ini tidak terlihat orang berwajah Asia Timur dan Tenggara. Juga tidak ada wajah orang Eropa-Amerika. Hanya kami berempat yang beda: dua Indonesia, dua Tiongkok.
Bukan main. Pesawat Qatar Airways jurusan Damaskus ini besar sekali –A330. Kok sudah begitu banyak penumpang. Saya pikir hanya akan sekelas Boeing 737. Ini sekelas B777. Padahal hanya terbang 2,5 jam.
Jumlah penerbangan ke Damaskus juga kian banyak. Sudah dari banyak kota: Dubai, Riyadh, Jeddah, Doha, dan Istanbul. Perusahaan penerbangan asing seperti berebut ingin buka jurusan Damaskus.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Mendadak Syria
Di kursi depan saya seorang Arab beserta istrinya. Penampilannya seperti manajer lapangan perusahaan minyak: pakai jeans, topi tua, jaket. Menjelang pesawat mendarat ia ke kamar kecil –yang luasnya dua kali ukuran toilet pesawat B737.
Begitu ia keluar dari kamar kecil saya terpana: seperti sulapan. Ia sudah pakai baju panjang model Arab. Warna putih. Kainnya seperti sutera yang baru diambil dari butik. Ia tidak segera kembali duduk. Ia pakai penutup kepala dulu. Khas Arab. Lalu pakai igal. Serba lux.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Erros Kanan
Sebelum kembali duduk ia menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuhnya. Leher. Dada. Sekitarnya.
Dari jendela mulai terlihat bandara Damaskus. Seperti di tengah gurun. Kering. Tandus. Paradoks dari yang Doha –terminalnya lama dan kecil. Hanya ada empat belalai gajah –tempat pesawat menurunkan penumpang.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Rekor Kambing
Tapi pesawat kami berhenti di apron. Tidak menempel di belalai itu. Padahal ada tiga belalai yang masih kosong. Hanya satu yang diisi pesawat –agak lama saya memperhatikan pesawat apa itu. Belum pernah melihatnya. Ternyata pesawat FlyCham. Saya foto nama itu. Akan saya cari info: pesawat mana FlyCham itu.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News


















































