
GenPI.co - Haikal yang punya mimpi itu. Ia anak buruh serabutan. Di pelosok Manna, Bengkulu Selatan. Haikal bisa meraih mimpi itu. Bahkan bisa ikut ke Amerika --jauh melebihi yang ia impikan: sekadar bisa ikut DBL.
"Mimpi ikut DBL" ternyata telah merayap sampai Manna. Padahal tidak ada DBL di Manna. Jangankan di Manna, di ibu kota provinsi Bengkulu pun belum ada DBL.
Anda sudah tahu, DBL: liga bola basket pelajar terbesar di Indonesia. Yang salah satu pertandingan finalnya saja -untuk Seri Jakarta- selalu digelar di Indonesia Arena. Venue yang dibangun untuk Piala Dunia Basket.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Kucing Timah
Selama ini lebih dari 1.000 SMA se-Indonesia ikut DBL. Melibatkan sebanyak 20.000 pelajar sebagai pemain basket. Ada pula 12.000 lebih sebagai dancer. Kok ada dancer-nya? Ya itulah bedanya DBL. Dancer itu mendampingi tim basket. Mereka tampil menghibur di pertengahan babak.
Angka yang di atas itu belum termasuk siswa yang datang sebagai suporter sekolah. Mereka juga dilombakan kreativitasnya. Kreativitas mereka membuat spanduk kemarin sempat dibanding-bandingkan dengan suporter Arsenal.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Merah Putih
Saat ini mayoritas para tim nasional basket Indonesia punya latar belakang sebagai pemain DBL, terutama tim wanitanya.
Yang membedakan DBL dan kompetisi basket lainnya adalah, tiap tahun mereka punya program DBL Camp. Pemain-pemain terbaik hasil kompetisi dimasukkan camp latihan khusus. Selama seminggu mereka dilatih sekaligus diseleksi para pelatih dari World Basketball Academy (WBA) Australia.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Amiiin KAI
Para pelatih asing itu yang melatih dan menyeleksi: siapa yang bisa masuk tim DBL Indonesia All Star. Ada tim putra dan tim putri. Sejak tahun lalu nama resminya Kopi Good Day DBL Indonesia All-Star. Yang masuk ke tim itu dikirim ke Amerika. Selalu ke Amerika. Sudah lebih 15 tahun.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News