
GenPI.co - Apakah beda jadi peneliti di universitas umum dan di universitas Islam?
Pertanyaan itu saya ajukan ke Fahrul Nurkolis, yang kini punya lima hak paten. Fahrul istimewa karena datang dari universitas keagamaan: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yakni dari fakultas Saintek yang dipimpin dekan wanita: Prof Dr (matematika UGM) Khurul Wardati. Fahrul lulus S-1 dari jurusan biologi. (Penemuannya: lihat Disway kemarin).
Inilah pembedanya: Di fakultas Saintek UIN Kalijaga ada satu mata kuliah khusus. Yang diajarkan: halalan-tayyiban. Satu semester. Paling awal. Wajib. Nama resmi mata kuliahnya: Sain dan Islam.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Air Mata
Begitu banyak buku yang membahas hubungan sain dan Islam. Itu seperti ingin membantah bahwa Islam bertentangan dengan sain. Bahkan banyak yang mengilmiah-ilmiahkan praktik keagamaan. Misalnya gerakan salat itu ilmiah: seperti olahraga.
Juga pembenaran dari segi sains tentang makanan haram seperti babi. Itu ilmiah, kata mereka. Babi mengandung cacing pita.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Danantara Audit
Apakah mata kuliah yang bersifat doktriner tidak akan 'membatasi' kebebasan berpikir seorang peneliti?
"Tidak," jawab Fahrul. "Justru membuat kami harus berpikir lebih," katanya.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Preman Saham
Misalnya ketika meneliti bahan untuk membuat kapsul pembungkus obat. Bahannya harus halal. "Kita harus bisa menemukan bahan yang tidak mengandung zat dari babi," ujar Fahrul. "Akhirnya kami menemukannya. Dari anggur laut," tambahnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News