INSPIRATIF - Malam itu hujan turun perlahan, seolah bumi ingin menenangkan hati yang baru saja retak. Di beranda rumah sederhana, seorang anak laki-laki duduk diam, menatap tanah basah yang memantulkan cahaya lampu. Ia baru saja gagal meraih sesuatu yang lama ia impikan. Dalam kepalanya, dunia terasa berhenti.
Sang ayah datang membawa dua cangkir teh hangat. Ia tidak langsung bicara, hanya duduk di samping anaknya, menatap arah yang sama. Dalam keheningan itu, ada kasih yang tidak perlu dijelaskan. Kadang, cinta seorang ayah justru hadir dalam diamnya.
“Tak apa gagal, ” ucapnya pelan, suaranya hangat dan tenang. “Yang penting kamu pernah mencoba.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa menembus ruang dada yang sesak.
Bagi sang ayah, hidup adalah perjalanan yang tidak selalu lurus. Ia sudah melewati masa-masa getir, saat kerja keras tidak selalu berbuah manis. Namun, dari hidup yang sederhana itu, ia belajar tiga kunci yang tak pernah pudar.
Pertama, "apa yang ditakdirkan akan sampai". Tidak ada yang tercecer dari rencana Tuhan, meski sering kali manusia tergesa menagih hasil.
Kedua, "jika berbuat baik, maka yang baik akan datang". Mungkin tidak selalu cepat, tapi pasti hadir pada waktunya.
Dan ketiga, "hidup ini dalam genggaman Allah yang tak pernah salah". Maka, tak perlu terlalu takut kehilangan — sebab semua sudah dalam kendali yang Maha Tepat.
Tiga keyakinan itu yang membuatnya tenang, bahkan ketika hidup menolak berjalan sesuai rencana.
“Kalau semua bisa kamu atur sendiri, kamu takkan belajar apa-apa dari Tuhan, ” katanya lagi, menatap jauh ke arah hujan. “Justru saat kamu tidak punya kendali, di situlah kamu akan belajar pasrah dan ikhlas.”
Anaknya terdiam. Ia sadar, ayahnya bukan orang yang pandai berceramah. Tapi setiap kata yang keluar selalu lahir dari pengalaman — bukan teori. Ia teringat bagaimana ayahnya dulu menata ulang hidup dari nol, tanpa pernah mengeluh, seolah keyakinan itu menjadi bahan bakar yang tak pernah padam.
Keesokan harinya, sang anak bangun lebih awal. Rasa kecewa masih ada, tapi kini ada sesuatu yang berubah. Ia mulai memahami: mungkin kegagalan ini bukan hukuman, tapi undangan untuk menjadi lebih kuat. Mungkin jalan yang ia pilih belum benar, tapi arah Tuhan tidak pernah keliru.
Bertahun-tahun kemudian, ketika ia dewasa dan menghadapi ujian hidup yang lebih besar, kenangan itu kembali hadir. Dalam sepi malam, ia seakan duduk lagi di beranda rumah bersama ayahnya. Teh hangat, suara hujan, dan nasihat yang dulu menenangkan hatinya:
*Tak apa gagal. Yang penting kamu pernah mencoba.*
Kini ia mengerti, pesan itu bukan sekadar penghiburan. Itu adalah filosofi hidup — bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan bagian dari rencana yang lebih besar. Bahwa keikhlasan adalah kunci agar hati tetap tenang di tengah badai.
Ayahnya kini telah tiada, tapi tiga keyakinan itu tetap hidup dalam dirinya.
Ia percaya bahwa takdir akan menemukan jalannya. Ia berusaha berbuat baik, karena yakin kebaikan tidak akan tersesat. Dan ia belajar menenangkan diri setiap kali sesuatu tidak berjalan sesuai keinginan, karena hidup sepenuhnya berada dalam genggaman Allah yang tak pernah salah.
Di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan, nasihat itu terasa semakin berharga. Dunia mungkin menuntut hasil instan, tapi hidup sejati memerlukan waktu — dan iman untuk menunggu dengan tenang.
Kini, setiap kali ia berhasil melewati masa sulit, ia menatap langit dan tersenyum.
“Terima kasih, Ayah, ” bisiknya lirih. “Aku akhirnya mengerti, gagal bukan akhir — hanya bagian dari perjalanan menuju apa yang memang ditakdirkan untukku.”
Dan seperti teh hangat di malam hujan itu, pesan sang ayah tak pernah benar-benar dingin. Ia terus hidup di dada setiap anak yang belajar percaya, bahwa di balik setiap kegagalan, Tuhan sedang menulis sesuatu yang lebih indah.
Oleh: Indra Gusnady