GenPI.co - Ketika meninggalkan Sidikalang, Jumat pagi lalu, mobil saya dikawal pikap: isinya durian Dairi.
Kami pun menyusun jadwal perjalanan berikutnya. Utamanya di mana saja bisa berhenti mencicil menghabiskan durian di pikap itu.
Pemberhentian pertama: kampung Silalahi. Di tepi Danau Toba –nun di ujung barat danau sepanjang 110 km itu.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Gembala Sudung
Perjalanan ke Silalahi mirip dengan perjalanan kami sehari sebelumnya. Yakni ketika kami ke patung Yesus di Sibea-bea. Untuk mencapai Silalahi kami harus menuruni gunung. Berliku. Dari ketinggian 1.600 meter ke 1.100 meter. Meliuk-liuk.
Mendekati tepian danau barulah datarannya agak landai. Mulailah terlihat bercuil-cuil tegal dan sawah. Lalu rumah-rumah kecil penduduk asli.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Dosa Pertama
Inilah tepian Danau Toba sisi termiskin. Masuk Kabupaten Dairi. Petak sawahnya kecil-kecil. Secuil-secuil. Di sela-sela batu besar. Pun petak kebunnya. Penuh batu agak besar dan agak kecil.
Tanaman terlihat kurang subur. Mangga pun buahnya kecil-kecil –seperti tidak cukup hara untuk membuatnya sedikit lebih besar.
BACA JUGA: Catatan Dahlan Iskan: Natal Dairi
Itulah Desa Silalahi: dipercaya sebagai muasal marga Silalahi. Terjepit antara danau di depannya dan gunung terjal di belakangnya.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News


















































