Membongkar Ketergantungan Impor Pangan: Saatnya Kembali Percaya pada Petani Sendiri

1 week ago 16


oleh Najwa Putri Adlin
Mahasiswi Jurusan Agribisnis, Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Jakarta

Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan alam yang luar biasa. Dari sabang sampai merauke, tanah subur terbentang luas, iklim tropis mendukung pertumbuhan berbagai jenis tanaman, serta kekayaan hayati yang melimpah. Dengan segala potensi itu, Indonesia mampu menjadi lumbung pangan bagi rakyatnya sendiri, bahkan berkontribusi lebih besar dalam perdagangan pangan global. Namun kenyataannya, kita masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Setiap tahun, tren impor bahan pangan terus mengalami peningkatan. Salah satu yang paling mencolok adalah beras. Padahal, beras telah lama menjadi identitas pangan bangsa ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2024, Indonesia mengimpor 1,36 juta ton beras dari Thailand, atau sekitar 30,19% dari total impor. Angka ini menunjukkan paradoks besar: negara subur, tapi tak mandiri.

Pemerintah seringkali menjadikan impor sebagai solusi cepat setiap kali pasokan dalam negeri terganggu atau harga naik. Ketika panen menurun atau distribusi tersendat, impor langsung dibuka untuk menstabilkan harga dan menenangkan gejolak pasar. Dalam jangka pendek, ini mungkin tampak efektif, namun dampak jangka panjangnya sangat berbahaya. Petani dalam negeri merugi karena harga hasil panennya anjlok, banyak yang akhirnya memilih meninggalkan lahannya. Imbas lebih lanjut adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas hasil pangan lokal, dan lambat laun, ketergantungan pada produk asing pun mengakar.

Masalah lainnya adalah rendahnya produktivitas pertanian. Lahan kita luas, sumber daya manusia tersedia, dan teknologi pertanian sudah berkembang mulai dari irigasi cerdas hingga bibit unggul. Mulai dari irigasi cerdas hingga bibit unggul. Sayangnya, inovasi ini jarang sampai ke tangan petani. Tidak ada jembatan yang kuat antara dunia riset dan dunia nyata di ladang pertanian. Petani masih menggunakan cara-cara tradisional tanpa pendampingan memadai, sehingga hasil panen tetap rendah. Akibatnya, potensi besar yang dimiliki Indonesia hanya menjadi narasi di atas kertas.

Sektor pertanian juga terus tergerus oleh industrialisasi. Banyak lahan pertanian produktif diubah menjadi kawasan industri dan permukiman. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023, mayoritas petani di Indonesia (15,89 juta) hanya memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Sebanyak 4,34 juta petani memiliki lahan 0,5–0,99 hektar, dan hanya sekitar 3,81 juta petani yang memiliki lahan di atas 1 hektar. Kondisi ini jelas tidak ideal untuk menunjang produksi pangan yang besar. Pemerintah lebih sibuk mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis industri daripada memastikan ketersediaan pangan bagi rakyatnya.

Distribusi pangan juga menjadi salah satu hambatan besar dalam sistem pangan nasional. Banyak hasil panen petani rusak sebelum sampai ke tangan konsumen karena buruknya infrastruktur. Jalan yang rusak, minimnya gudang pendingin, serta rantai pasok yang terlalu panjang menyebabkan kualitas produk menurun dan harga tidak stabil. Ironisnya, pemerintah menuntut kualitas tinggi dari petani, tapi sarana penunjangnya tidak pernah ditingkatkan. Dalam situasi ini, wajar jika hasil impor yang distribusinya efisien lebih unggul di pasaran.

Satu lagi persoalan serius yang terus berulang adalah hak petani yang selalu diabaikan oleh pemerintah yaitu, tidak adanya perlindungan harga saat panen raya. Saat petani berhasil memproduksi hasil melimpah, justru harga di pasar jatuh karena tidak ada sistem penyangga atau kebijakan pembelian hasil pertanian oleh negara dengan harga yang wajar. Ini menyebabkan petani mengalami kerugian besar dan membuat mereka enggan menanam kembali pada musim berikutnya. Ketidakpastian ini menciptakan siklus stagnan yang terus menekan semangat dan keberlanjutan usaha pertanian.

Kondisi ini kontras dengan masa kejayaan Indonesia pada 1984, ketika kita berhasil meraih penghargaan swasembada pangan dari FAO. Saat itu, meskipun teknologi dan infrastruktur belum memadai, pemerintah mampu merumuskan dan menjalankan kebijakan pangan yang berorientasi pada kemandirian. Lalu apa yang salah dengan kebijakan hari ini? Apakah kita terlalu percaya pada mekanisme pasar bebas, atau terlalu sibuk mengejar investasi asing tanpa memperhatikan sektor paling dasar, yaitu pangan? Mengapa pemerintahan seakan akan lupa dengan bidang pertanian, padahal pertanian adalah salah satu penompang terkuat di negara ini. Kita tahu, bahwa upaya pemerintah untuk pertanian ini sedang gencar-gencarnya, apakah semua ini sudah terlambat? Tentu saja belum, lagi pula lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi bagi pengambil kebijakan. Sektor pertanian adalah fondasi dari negara ini. Bila negara tidak segera mengambil langkah strategis untuk membangkitkan kembali pertanian lokal, maka ketergantungan pada impor akan terus berlanjut, bahkan semakin dalam.

Beberapa negara berkembang justru berhasil mengurangi ketergantungan impor melalui reformasi kebijakan pertanian. Contohnya negara Vietnam dan India sukses menekan impor pangan berkat keberpihakan nyata kepada petani. Pemerintah di negara-negara tersebut secara aktif memprioritaskan penyediaan teknologi, pupuk, dan bibit unggul langsung kepada petani. Keterlibatan langsung pemerintah di lapangan menjadi langkah yang tepat. Langkah seperti ini seharusnya dapat menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. Namun, harapan belum pupus. Jika ada kemauan politik yang kuat, perubahan bisa dimulai sekarang. Pemerintah bisa mengidentifikasi dan memanfaatkan jutaan hektar lahan tidur, menyediakan insentif bagi petani untuk kembali ke ladang, serta memperbaiki infrastruktur distribusi agar hasil panen bisa sampai ke pasar dalam kondisi optimal. Selain itu, negara perlu menyiapkan sistem pembelian hasil panen dengan harga yang adil untuk menjaga stabilitas pendapatan petani.

Selain membenahi produksi, penting juga untuk mulai membangun budaya konsumsi yang lebih beragam. Ketergantungan kita pada beras bisa dikurangi dengan mendorong konsumsi bahan pangan lokal seperti singkong, jagung, sagu, dan umbi-umbian. Semua bahan ini bernilai gizi tinggi dan sangat cocok untuk dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia. Sayangnya, dalam budaya konsumsi kita, pangan lokal sering dianggap sebagai makanan kelas dua. Padahal, di negara maju sekalipun, tren kembali ke pangan lokal dan organik justru semakin berkembang. Indonesia harus mengambil momentum ini, dan mendidik masyarakat untuk mencintai hasil bumi sendiri.

Dalam situasi global yang tidak menentu, termasuk ancaman krisis iklim dan ketegangan geopolitik yang bisa mengganggu pasokan impor, kemandirian pangan adalah harga mati. Pemerintah tidak bisa terus mengandalkan solusi darurat seperti impor. Kebijakan jangka panjang yang menyentuh akar persoalan harus segera dijalankan. Pangan bukan komoditas biasa, tetapi kebutuhan dasar manusia yang menyangkut hak hidup dan martabat bangsa.

Solusi atas permasalahan impor pangan tidak akan datang dari kapal yang bersandar di pelabuhan membawa produk asing. Solusi sejati ada di tangan petani kita yang selama ini terpinggirkan oleh negara. Ladang-ladang yang mulai terbengkalai harus dihidupkan kembali, teknologi harus diberikan kepada mereka yang membutuhkan, dan hasil panen harus dihargai selayaknya. Dengan itu, kita bisa membangun masa depan yang mandiri dan bermartabat, serta mewujudkan kembali mimpi Indonesia sebagai negara yang berdaulat atas pangannya sendiri.

Read Entire Article
Kuliner | Cerita | | |